Jumat, 28 September 2018

Catatan Seorang Introvert


Sumatera Utara

This is taste of fear...
Bisa dikatakan rasa takut itu ada karena kita yang menciptakan.
Takut itu sih wajar. Yang tak wajar itu jika tidak memiliki rasa takut sama sekali. Bayangkan jika kita sama sekali tak memiliki sedikitpun bagian dari rasa itu? Lalu apa jadinya kalau sampai kita tak punya rasa takut terhadap Tuhan?
Rasa takut yang lebay pun tak wajar! Aku membencinya. Ini sih lebih ditujukan for myself yang menurutku
berlebihan memikirkan sesuatu yang seharusnya tak perlu kutakutkan!





Sebagai seorang introvert, tentu aku pernah mengalami masa dimana aku membenci diri sendiri. Mengapa aku begini? Kenapa aku berbeda? Mengapa aku tak seperti orang kebanyakan?
Sudah lama ingin kutumpahkan luapan itu di blog pribadi ini. Setidaknya anggap saja ada saksi dari kisahku yang tak mengenakkan selama 3 tahun bersekolah sekelas denganku kala itu, yang sedang membaca tulisan sampah ini sekarang. HEY GUYS! Jika sedari saat itu kalian memiliki beberapa pertanyaan tentang teman absurd kalian satu ini, barangkali kalian bisa menemukannya disini!. ;)



Kekamvretan itu dimulai ketika aku di kelas 9 (9A). Alasan aku mau pindah ke kelas unggulan dari kelas sebelumnya (8B) itu karena aku merasa aku bisa nyaman berbaur dengan orang-orang di kelas unggulan yang kelihatan akan ramah menyapaku. Aku mau pindah bukan karena aku tak nyaman dengan kelas B, hanya karena di kelas B aku jadi siswa yang pemalas dan suka masuk ke ruang BK, makanya aku mau perbaiki kemalasan itu di kelas baru. Tapi ternyata ekspektasi tak sesuai realita. Aku malah menarik diri di hari pertama. Ntah mengapa aku tak memulai duluan sapaan itu. Aku terlalu takut untuk memulainya. Ntah apapun yg perlu ditakutkan. Hari demi hari berlalu dan aku menjalani rutinitas yang sangat monoton. Aku sering dibilang melamun plus kesepian.

Kebanyakan teman-teman terlihat takut mungkin jijik *ah, kata ini terlalu berlebihan* jika aku dekat-dekat dengan mereka. Aku makhluk paling aneh di kelas! Aku alien, aku absurd, aku hantu, aku bukan superstar.
Aku sendiri juga heran mengapa aku bisa begini. Bukan mauku bersikap begini. Bisakah mereka bersikap biasa saja padaku? Jangan perlakukan aku bagai mantan napi begitu donk. Iyasih, memang aku yang salah dari awal. Kalau saja aku bisa menekan rasa takut itu dari awal pasti keanehan itu takkan berlanjut.

Di kelas ini aku sering terlihat diam atau mungkin selalu diam saking jarangnya aku bersuara. Aku juga sering terlihat sendirian, paling hanya 1-5 oranglah yang mau mengajakku main. Aku sangat bersyukur kala itu, setidaknya di kelas ini masih ada beberapa orang yang memperlakukanku secara normal :v
Oh ya. Ada 1 orang di kelas ini, satu-satunya yang mau saling bertukar cerita denganku hati ke hati. Bahkan dia pernah berkata padaku, ketika aku dengannya aku tidak terlihat layaknya orang pendiam. Ketika melihatku bercerita dengannya, dia melihat sosok yang lain pada diriku. Aku tidak terlihat seperti ketika aku sedang diam terbodoh sendirian di mejaku pojok paling belakang sebelah kiri kalau dilihat dari depan. Dia heran ternyata aku sama seperti manusia normal pada umumnya yang suka bercerita dan tertawa lepas. Haha, apaan dah, emang aku bukan manusia?

Ya, begitulah hari demi hariku berlalu dengan sangat membosankannya. Disaat anak yang lain sibuk dengan kegembiraan yang ia buat sebagai kenangan masa SMP nya, aku sendiri sibuk merutuki diri sendiri dan berharap sisa masa SMP ini cepat berlalu. Separah-parahnya aku di kelas yang dulu, seenggaknya aku selalu punya teman sebangku yang dekat denganku. Tapi kenapa tidak dengan ini? Teman sebangkuku justru malas semeja denganku, malah couo di meja depan yang sering semeja denganku. Ujung-ujungnya teman sebangkuku gajadi ceue, tapi couo. set dah.  Aku tau dia bersikap begitu denganku karna aku orang yang sangat membosankan. Aku tau aku susah untuk bisa mentel seperti yang lain, tapi setidaknya tolong donk hargai usahaku saat aku berusaha ingin akrab dengan kamu!.  Kau tahu? Aku sudah berusaha sebisaku untuk pendekatan denganmu, tapi responmu gak pernah enak, selalu menciutkan kepercayaan diriku. Sudahilah.

Waktu itu aku pernah dekat dengan adik kelas via dumay. Kenapa kukatakan via dumay? Karena kami belum pernah dekat di dunia nyata. Sampai hari ini baru sekali dia menyapaku, *itupun setelah di SMA* dengan kata “Mimistu”, waktu aku mau ambil ijazah. Dulu kelas adik itu di 8A, letaknya ada di sebelah kelasku. Dia pernah berkata kalau dia ga nyangka orang sepertiku bisa ketawa, sudahlah, aku maklumin itu mungkin cuma candaan. Sampai suatu malam dengan tidak berdosanya dia berkata “Makanya.. ngomong donk...NGOMONG!!!”
JDERRRR!!! Lengkap sudah penderitaanku di masa akhir SMP. Hatiku sakit, sakiittt  sekali. Pasalnya kata-kata itu kok ya seolah-olah aku ini bisu. Separah itukah aku?!
Ya Allaah...  Air mataku mengalir dengan derasnya. Langsung aku campakkan hape BBSku begitu saja. Aku menangis sesenggukan. Ya Allaah.. kenapa sesakit ini ya Allaah? Aku merasa jadi manusia paling buruk di dunia. Aku terus menangis sampai dadaku terasa sangat sesak dan tentunya, sakit.
Perlahan terekam kembali memori demi memori yang sangat kubenci. Ingatan saat orang-orang mengataiku pendiam itu mirip jika disamakan dengan ejekan orang-orang normal yang mengejek anak autis dengan sebutan IDIOT.
“Iya si Tami itu anaknya memang idiot.” ”Oh.. si Tami yang idiot itu ya?”
Sekarang kalian tau kan? Gimana rasanya? Ketika kalian mengatakan kata ‘pendiam’ itu serasa kalian mengataiku idiot.
Memang sih, ini bukan yang pertama kalinya orang mengataiku pendiam. Sebelum aku ada di kelas ini, akupun sudah dikatakan pendiam, tapi aku belum pernah merasa sesesak setelah di kelas ini.




Setelah melewati masa-masa ini akhirnya aku masuk SMA.
Di SMA, aku berharap akan punya masa-masa sekolah yang menyenangkan. Masa Orientasi Siswa kulewati dengan sukacita di kelas 10-2. Tiba masanya ujian untuk menentukan dimana aku akan berada di kelas mana setelahnya. Pengumuman tiba, aku masuk di kelas 10 mia 1. Hari pertama masuk, teman yg dulu sekelas denganku di SMP mengajakku untuk sebangku, tapi aku menolaknya karna sudah terlanjur janji dengan teman baruku. Ternyata si teman baru itu datangnya lama, jadi aku lagi-lagi dapat meja paling belakang. -_-

Awalnya aku kira akan menyenangkan berada disini. Tapi seketika keberanianku ciut lagi setelah mengetahui fakta bahwa di kelas ini hampir didominasi oleh teman-teman kelas 9 ku. Yaahh... kumat lagi deh -,-
Sebenarnya waktu testing kemaren aku pengennya masuk 10 mia 2, tapi ternyata Allaah menakdirkanku untuk disini. Positive Thinking Mi... Allaah lebih tau mana yg terbaik untukmu.

Hayyahh... masa kelas 10 ini ternyata lebih parah men! Aku jadi lebih double triple absurd disini. Tau gini mending masuk SMK aja kemaren.
Kau tahu? Seperti yang sudah-sudah, masa ini aku lewatkan dengan lebih membosankan lagi. Tapi setidaknya sesekali itu tersamar dengan adanya yang bening-bening...ikiww... Jadi ceritanya untuk pertama kali aku jadi seorang secret admirer dari seorang  abang kelas yg punya penggemar cukup banyak di sekolah ini. Namanya bang Fahmi Randa :v. Bodo ah, biar aja orang tahu. Kenapa aku bisa suka sama dia? Aku bisa suka waktu lihat dia tampil adzan di lomba peringatan bulan ramadhan kemaren. Suara adzan mekkahnya yang khas, bikin aku meleleh. Dia itu waktu itu gimana ya? Kadang aku ngerasa sinting kok bisanyalah setiap nampak abang itu berasa ada di dunia webtoon! :D
Poko’nya dulu dia itu yang jadi alasanku lari-lari ke mushola setiap istirahat kedua. :3 Alasanku rajin berangkat pagi-pagi, alasanku rajin ke mushola, alasanku suka keliling sekolah, alasanku suka ke kantin pakde, alasanku suka menyelinap ke kelasnya waktu sekolah uda sepi cuma untuk cari kertas bekas atau sesuatu yang tertinggal di meja dia untuk kupegang. Apapun itu yang penting aku bisa pegang bekas tangan dia, KYAAAAA!!! >,<

Gilo..gilo.. jadi flashback kannn ah!
Tapi setelah abang itu tamat aku jadi bersyukur, akhirnya aku bisa move on dari kekonyolanku yg sudah-sudah. Aku jadi sadar bahwa ke mushola itu harus diniatkan karna mau sholat, bukan untuk liat couo!.
Sekarang aku udah biasa aja sih liat abang itu. Sesekali status fb nya muncul di timeline fb ku, tapi aku udah ga selera lagi untuk stalking dia. Btw sekarang dia makin endut.


OK, balik ke topik awal!
Nb: Silahkan jeda dulu, kalau sudah lelah baca tulisan ga penting ini. Ambil minummu, makan sedikit cemilan, kalau mau ke kamar mandi ya sudah dulu sana.




Bisa dibilang di kelas 10 inilah drama pribadiku dimulai. Ini yang memengaruhi cerita kedepannya. Di kelas ini jarang-jarang ada yang hapal namaku. Bahkan setelah 5 bulan kami bersama. Apa karna saking astralnya aku ya? Iya ya, aku kan makhluk transparan. Lebih kecut dari kopi dan lebih pahit dari stoberi...
What the hell? Padahal aku hapal semua nama lengkap mereka! Lha ini apaan? Bahkan nama panggilanku masih ada saja yang belum hapal! Sesusah itukah menghapal nicknameku? Itu belum seberapa, bahkan ada teman couoku yg terang-terangan aku dengar sendiri kalo dia bilang, jijik lihat mukaku, aha? :D

Sebenarnya ada 1 drama yg paling berkesan terjadi di kelas 10 ini. Tapi aku takkan menceritakannya kali ini karna bakal kepanjangan. Kapan-kapan aku bikin side storynya kalau ada yang mau tau. Itupun kalau ada yg mau, kalau gaada yaudah deh.. ga kubikin daripada nyepam ga jelas nantinya.




Masuk ke kelas 11. Ada testing lagi nih, mengingat waktu kelas 10 itu kan testing penjurusan tapi pakai K-13, jadi karna kurikulumnya mau diganti lagi, jadi ya ada testing lagi untuk K-6. Aku udah pengen kali masuk 11 ipa 2, tapi lagi-lagi Allaah lebih suka aku di 11 ipa 1. Hmm... ketemu lagi deh.

Kali ini aku memilih bangku barisan kedua dekat dinding. Dengan harapan, jika disini semoga semuanya dapat berubah lebih baik dari sebelumnya. Namun lagi-lagi aku harus bersabar, Allaah masih ingin mengujiku. Gak ada segerombolan anak perempuan yang mau sebarisan sama kami kecuali yang kemarin waktu kelas 10 memang duduk didepan kami. Alhasil, depan dan belakang orang-orangnya tetap sama, cuma bedanya kali ini ada Wandra pindahan dari 10 mia 2. Sisanya yang duduk di meja bagian belakang adalah anak laki-laki yang barangkali terpaksa karena gaada pilihan lain kecuali duduk disitu.

Tak ada yang berubah, semua tetap sama. Josua mendatangi meja kami,
“Kau kok mau gabung sama genk pendiam?” selidiknya pada Lia yang sekarang duduk sebangku denganku.
“Ya kenapa rupanya? Aku yang mau kok.”
“Kenapa gak duduk sama orang Jesica aja?.”
“Aku maunya disini kok.”
Aku tak bisa berkata apa-apa kecuali membenarkan perkataan Josua dalam hati. Kalau dipikir-pikir gaada salahnya juga Josua ngomong gitu. Karena Lia berhak untuk mendapatkan “nama” jika duduk dengan orang-orang terpandang di kelas. Bukan justru jadi teman sebangku denganku yang bakal bikin reputasinya ikut jadi buruk nantinya.

Kulewati masa-masa awal di kelas 11 sama seperti tahun lalu. Aku adalah aku yang lebih dikenal dengan dengan sebutan “pendiam” ketimbang dengan nama asliku sendiri. Segalanya begitu membosankan. Gaada lagi yang namanya bang Fahmi yang bisa jadi pelampiasanku untuk me-refresh otak setelah suntuk seharian di kelas 11 ipa 1. Tapi, karena itu aku jadi sering sholat dhuha sama Lia di mushola.
Sebagai teman, tentu kerenggangan terkadang tak bisa dielakkan. Tak jarang Lia sering mendiamiku secara tiba-tiba, dan selang beberapa hari kemudian, kami baikan lagi. Kira-kira ada 2 sampai 3 kali itu terulang hingga akhirnya masa terburuk di masa SMA itupun terjadi. Masa yang paling kubenci hingga pernah terpikir untuk bunuh diri. Aku masih bisa tahan jika dikucilkan di kelas, tapi aku lebih tidak tahan jika dijauhi oleh teman terdekat, apalagi ia teman sebangkuku. Satu-satunya orang yang paling sudi mau dekat-dekat denganku yang pendiam di kelas ini disaat teman-teman sekelas yang lainnya enggan untuk mendekati. Mungkin aku takkan ceritakan disini apa kronologisnya karena jika kutuliskan itu akan sangat panjang. Yang pastinya itu adalah masa yang terberat bagiku di masa sekolah. Bahkan setiap hari, setiap pulang sekolah aku selalu menangis begitu sampai kamar. Aku benci hari-hari sekolah. Aku bahkan sampai curhat ke orang tua dan meminta untuk pindah sekolah. Tapi, karena biaya pindah sekolah itu mahal, aku harus mencoba untuk mengatasinya sendiri. Badai pasti berlalu.

Selang satu dua bulan kemudian akhirnya kami baikan lagi. Tapi rasa itu sudah berbeda. Kami baikan, tapi tak seakrab dulu. Aku sangat canggung dengannya sekarang. Aku selalu berhati-hati agar dia tak mendiamiku secara tiba-tiba seperti yang sudah-sudah.
Namun, dibalik semua itu ada banyak hikmah yang bisa kupetik. Selama dia mendiamiku, aku mulai belajar memberanikan diri untuk membaur dengan teman-teman kelas lainnya. Awalnya memang sulit. Setiap orang mempunyai tipe yang berbeda. Ada yang ketika kudekati dia sangat welcome, dan ada juga yang terlihat agak risih. Tapi aku senang, karena ada peningkatan diri dariku kearah yang lebih baik sejak saat itu. Mungkin aku tak bisa memaksakan seisi kelas untuk bisa nyaman denganku. Masih banyak dari mereka yang masih risih jika kudekati. Tapi seengganya aku sudah beranikan diri untuk belajar terbuka dengan seisi kelas 11 ipa 1.




Akhirnya kami naik kelas 12. Kira-kira dipertengahan semester 1 ada program pemekaran kelas dari pemerintah. Karena satu kelas itu melebihi kuota yang ditentukan, jadilah dibikin kelas baru untuk setiap jurusan. Waktu itu cuma ada 3 kelas untuk IPA; IPA 1, IPA 2, dan IPA 3. Jadi ini dibikin satu kelas baru, yakni IPA 4. Awalnya kami diberikan option siapa saja yang mau dipindahkan ke IPA 4. Dari kami ada 8 orang yang mengajukan diri, salah satunya adalah aku. Sisanya adalah acakan dari pihak sekolah. Kira-kira dari setiap kelas ada 12/15 orang yang diambil untuk IPA 4. Ketika pengumuman siapa saja yang dipindahkan ke IPA 4, seluruh penjuru sekolah diselimuti oleh kabut *lebay.
Semua heboh pada update status bilang kalo pihak sekolah jahat udah memisahkan mereka disaat sudah nyaman-nyamannya/kompak-kompaknya dengan kelas yang sudah ada. Tapi aku mah Sabodo teuing. Disaat mereka bersedih justru aku merasa bahagia karena di kelas baru inilah aku punya kesempatan untuk perbaiki diri di masa SMA ini. Eh, jahat gak sih aku kalo bilang gini? Aku kan punya hak untuk punya masa-masa indah di masa SMA. Gak Cuma mereka aja yang boleh bahagia, aku juga berhak donk?

Jadi, pas kami yang terpilih mau pindah ke kelas baru semuanya pada nangid. Berpelukan ala teletubies. Kalo aku? Halah, cuma beberapa orang aja yang merasa kehilanganku. Orangnya pun masih itu-itu aja. Asmayani, Sinta, Retno, Alfida, Rini, Ovi, Rifi, Indah, Ayu, Mayrani. Sisanya? Jangan tanyaklah, aku dikacangin. Bahkan ketika aku memeluk salah satu dari yang tidak kusebutkan diatas, dia ngerasa gak senang dan cepat-cepat ngelepas pelukanku. Aku baru ikutan nangid waktu Alfida tersedu-sedu begitu memelukku :’( .

*Sebelumnya, maaf jika aku banyak membandingkan. Aku hanya ingin mengutarakan apa yang selama ini menyemak di hati. Menuangkannya di blog amatir ini. Ini tulisanku, aku bebas menuliskan apa saja. Maaf sebesar-besarnya jika ada yang tersinggung.*




Huplah!
Akhirnya aku bebas!!!!!
MERDEKA!!!
Seneng banget rasanya begitu duduk di kelas baru ini. Darisini perjalanan baruku dimulai. Masa-masa indah SMAku pun mulai bertunas. Tak kudapati pengabaian itu lagi. Baru kali ini aku merasa seenjoy ini di SMA. Seisi kelas yang menyenangkan. Di kelas ini tak ada satupun orang yang diperlakukan asing. Walau Lia bilang di kelas ini gak sekompak waktu masih di IPA 1, tapi aku merasa sebaliknya. Wajar aja sih jika yang dibilang Lia itu benar, soalnya kan kelas ini baru aja dibuat, setiap raga yang ada dikelas ini jiwanya masih tertaut dengan kelas lama. Benar kan yang kubilang? Kalau kelas lama itu wajar aja bisa kompak karena sudah 2 tahun bersama, lah IPA 4? Gak nyampe setahun kita bersama.

Disini, namaku sering disebut oleh seisi kelas. Gak seperti sebelumnya. Karena kalo di IPA 1 suatu keajaiban jika mendengar mereka memanggil nama panggilanku, karena kebanyakan anak IPA 1 lebih sering memanggil nama depanku ketimbang nama panggilanku. Oh iya, disini aku ingin memberitahu, kenapa sekarang aku lebih senang dipanggil Mimi ketimbang Tami.
Karena itu suatu tahapan kedekatan seseorang terhadapku.
Dari panggilan Siti = kurang akrab, Tami = lumayan akrab, Mimi = akrab.
Tapi kalau misal dari dulu udah biasa manggil aku Tami, ya gak masalah juga sih.

Kalo dipikir-pikir lucu juga sih.
Si Arra-chan yang dulu biasa manggil aku Tami, semenjak di IPA 4 mulai manggil aku Mimi/Mimicu/Micu/Mimistu, dan sekarang dia janggal dan lidahnya susah manggil aku Tami. Wkwkwk. Jadi kangen aku samamu gegotku. <3
Ade yang dulu waktu SMP kami gak dekat sekarang kami bisa jadi dekat semenjak sekelas di IPA 4. Dan sampai sekarang dia masih manggil aku Tami, itu gak masalah karena memang dari dulu dia udah terbiasa manggil Tami.
Kalo Diah, dari SD kami memang udah dekat. Diah tetap manggil aku Tami, dan lagi itu juga bukan masalah bagiku karena kami satu sekolah terus dari SD kecuali SMP.
Intinya, setiap orang yang sudah mengenalku sejak lama itu pengecualian bagi mereka jika sudah terbiasa memanggilku dengan “Tami”.

Banyak kisah menyenangkan yang kurasakan semenjak di IPA 4. Alhamdulillaah, akhirnya punya kenangan indah juga di masa SMA. Ternyata hal yang kutakuti waktu kelas 10 gak terjadi.


Dan disinilah aku sekarang.
Pendidikan Agama Islam – 5, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINSU / 2018.
Banyak rasa yang terjadi disini. Sejauh ini, terasa menyenangkan bisa sekelas dengan orang-orang yang ada didalamnya. Banyak yang kelihatannya biasa saja tapi kebanyakan dari mereka ternyata adalah orang-orang yang hebat. Kami belum genap sebulan bersama. Jadi wajar saja jika masih ada yang masih belum ingat nama satu sama lain. Mereka hanya mengenal Mimistu, sebab masih banyak yang belum tahu Siti Tridia Utamy itu adalah nama lengkapku. Namun, aku bahagia.


Ali bin Abi Thalib pernah berkata;
“Jangan menjelaskan dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu.”


Disini, aku tak bermaksud untuk menyombongkan diri. Sekali lagi aku hanya ingin mengutarakan isi hati dari pengalaman seorang introvert yang nyaris membenci diri sendiri. Semoga kita bisa mengambil pelajaran atasnya. Tulisan ini juga sebagai pengingat untuk diriku sendiri. Bahwa aku tak boleh terus-terusan mengharap perhatian, justru harus lebih banyak memberi daripada menerima.


@Kost Fii Sabilillah (Kamar no. 20, lantai 3), Jl. Perhubungan no. 6, Laut Dendang.



~mimistu




Tidak ada komentar:

Posting Komentar